Cancel Culture : Membahayakan atau Menyelamatkan?
Fenomena cancel culture ramai menjadi perbincangan masyarakat. Cancel culture umumnya terjadi di media sosial, sehingga membuat orang-orang berani untuk memasang topeng dengan dalih utama untuk melindungi diri atas perbuatan mereka menyepelekan orang lain. Fenomena ini bersifat massal dan bertujuan untuk mengucilkan korbannya.
[caption id="attachment_3554" align="aligncenter" width="640"] Gambar 1. Materi Kak Amelinda dalam acara Webinar Cancel Culture[/caption]Isu ini menjadi tema utama dalam diskusi isu terbaru (DISERBU) yang diadakan oleh Departemen Kajian Strategis DEMA Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pemantik diskusi kali ini adalah Amelinda Pandu Kusumaningtyas, S.Sos., seorang merupakan Project Officer Department Research Center for Digital Society (CFDS) Universitas Gadjah Mada dan dimoderatori oleh Dandy Aulya. Sekitar 250 peserta hadir dengan antusias pada diskusi ini.
Dalam pembukaannya, Dr. Yunita Faela Nisa, M.Psi., Psikolog, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni, dan Kerjasama Fakultas Psikologi UIN Jakarta menyampaikan pentingnya mahasiswa psikologi memahami fenomena cancel culture di media sosial. Lebih lanjut, Yunita mengingatkan, “perilaku apapun di dunia maya tetap harus menjunjung etika. Pertimbangkan ketika Anda semua melakukan sesuatu di dunia maya, like, comment, share, apalagi melakukan cancel culture. Ukurannya adalah apakah bermanfaat, apakah akan menimbulkan kebencian, apakah mengganggu oranglain? Ini harus jadi pertimbangan”.
[caption id="attachment_3555" align="aligncenter" width="638"] Gambar 2. Dandy Aulia, moderator dan Kak Amelinda, narsum acara Cancel Culture[/caption]Menurut Kak Amelinda, “fenomena cancel culture ini sebenarnya sudah muncul sejak 2014, tetapi baru akrab di telinga masyarakat Indonesia pada tahun 2019”. Lebih lanjut ia menyampaikan, “Awalnya, gerakan ini disampaikan oleh orang berkulit hitam dan bertujuan untuk menyuarakan diskriminasi yang mereka alami di tempat mereka kerja. Namun, seiring berjalannya waktu, cancel culture mulai mengarah pada hal yang lebih bersifat negatif. Fenomena ini di Indonesia juga umumnya berkonsentrasi di Pulau Jawa dan dialami juga dilakukan oleh masyarakat urban yang memiliki akses internet”.
Lebih lanjut, menurut kak Amelinda, “Cancel culture juga memiliki siklus tersendiri”. Sebagai contohnya, ia memberikan “seorang public figur apabila terkuak kejelekannya, maka ia akan menjadi bahan ejekan netizen dan kemudian dilampiaskan melalui konten-konten dan ajakan untuk memboikot orang tersebut. “Penyerbuan” ini pada akhirnya membuat korban akan tersudutkan”.
Animo peserta ditunjukkan dengan banyaknya peserta yang mengajukan pertanyaan. Salah satunya ada yang menanyakan, “Apakah cancel culture ini berhubungan dengan pembunuhan karaktek?”. Kak Amelianda menjawab dengan memberi contoh kasus Meghan Markle yang menjadi isu baru-baru ini dengan berita tentang rasisme yang ia rasakan di kehidupan Royal Family sebelumnya yang pada intinya, cancel culture ini memang berhubungan dengan pembunuhan karakter.
Kesimpulan dari acara ini adalah “cancel culture bisa bermanfaat di satu sisi, tetapi di sisi lain bisa juga menjadi tidak bermanfaat”. Ada berbagai cara untuk menghadapi atau menghindari cancel culture, di antaranya “bijak dalam membaca berita, kemudian memastikan kebenaran berita tersebut. Selain itu, kita juga perlu santai untuk menanggapi berita-berita yang sedang ramai diperbincangkan masyarakat dan berpikir matang untuk memberikan komentar, dan lain-lain”. Semoga bermanfaat dan sampai berjumpa pada kegiatan Fakultas Psikologi lainnya.