F.Psi Merespon Perubahan Iklim: Menjaga Bumi dan Kesehatan Mental
Berangkat dari kenyataan terkait banyaknya bencana alam yang terjadi di Indonesia baru-baru ini membuat seluruh masyarakat diminta untuk waspada akan hal tersebut. Terjadinya perubahan iklim yang tidak dapat diprediksi ini bukan hanya membuat masyarakat risau, tetapi juga mampu mengganggu mood serta aktivitas yang dijalani. Berkaitan dengan fenomena tersbut, sekaligus memperingati Hari Bumi, pada tanggal 24 April 2021, Departemen Sosial dan Lingkungan DEMA Fakultas Psikologi UIN Jakarta mengadakan webinar dengan mengangkat tema “Menyiapkan Kesehatan Mental dengan Perubahan Iklim”.
Acara ini dibuka oleh Dekan Fakultas Psikologi, Dr. Zahrotun Nihayah, M.Si. Pembicara pertama pada webinar ini adalah Ibu Nana Firman sebagai co-founder Global Muslim Climate Network yang berbagi cerita tentang kekayaan Indonesia, dimulai dari kerindangan pepohonan dan hutan. Indonesia sangat penting bagi hutan hujan tropis karena lebatnya pohon dan hutan yang dimiliki. Namun, kenyataannya, sekarang hutan dibabat dan dialihkan demi kepentingan pihak tertentu. Ketika hutan dipangkas, banyak hal yang terjadi selanjutnya, seperti jual beli hewan langka karena hilangnya habitat mereka. Hal tersebut tentu malah membuat masyarakat resah, tidak tenang, dan tertanggu aktivitasnya. Lantas, bagaimana membangun ketahanan diri dan bagaimana dampak-dampaknya?
[caption id="attachment_3592" align="aligncenter" width="704"] Pemaparan Materi oleh Ibu Nana Firman[/caption]
Ibu Nana Firman pun membagikan beberapa langkah, yaitu: Pertama, mengantisipasi dampak iklim dan membuat asesmen kerentanan. Kedua, memproyeksikan beban penyakit. Ketiga, membuat asesmen intervensi kesehatan masyarakatdan keempat, mengembangkan dan menerapkan rencana adaptasi iklim dan kesehatan.
Pembicara kedua, yaitu Bapak Ikhwan Lutfi., M.Psi., dosen Fakultas Psikologi UIN Jakarta juga menyebutkan banyak sekali efek-efek dari perubahan iklim yang terjadi di alam. Contoh nyatanya terlihat ketika beberapa daerah gunung es yang mencair. Hal ini semakin memperjelas bahwa bumi ini tidak lagi bersahabat, seolah-olah hal ini merupakan peringatan kepada masyarakat untuk tidak lagi merusak alam, untuk tidak lagi menggunakan bahan yang tidak eco-friendly, apalagi menggunakan kemasan-kemasan yang tidak mudah terurai.
Meminimalisir penggunaan sterofom, serta tidak lagi memakai kemasan plastik. Hal ini dikarenakan kedua jenis sampah tersebut akan memakan banyak sekali waktu hingga nantinya terurai. Untuk mendorong keyakinan tersebut, kita bisa mulai tanamkan moto “rethink dan refuse”, sehingga kita tidak mudah mengatakan bahwa sampah plastik dapat di-recycle, tetapi juga mengingat bahwa hal tersebut harus melewati proses rethink, refuse, reduce, reuse, refurbish, repair, repurpose, sampai pada recycle.
[caption id="attachment_3593" align="aligncenter" width="709"] Pemaparan Materi oleh Bapak Ikhwan Luthfi, M.Psi.[/caption]
Banyaknya perubahan iklim seringkali membuat kita takut. Lalu, bagaimana kita melakukan coping with climate change anxiety? Jawabannya bisa kita mulai dengan mengeluarkan perasaan resah yang kita rasakan dengan bercerita, percaya bahwa kita menghadapi banyak sekali rintangan secara bersama. Bumi adalah ibu kita, maka hati-hatilah dengan bumi sesuai dengan hadis “hati-hatilah kalian terhadap bumi, karena sesungguhnya bumi adalah kami”.
Kesimpulan dari materi yang dipaparkan oleh Pak Luthfi adalah bahwa perubahan iklim adalah hal yang tidak mengenakkan dan perlu menjadi perhatian oleh manusia saat ini. Selain itu, penyebab dari kerusakan iklim adalah manusia itu sendiri. Tidak dapat kita bantah fakta bahwa manusia menjadi penyebab dan juga objek dari kerusakan itu sendiri. Selain itu, kesehatan mental menurut WHO berada dalam aspek sosial, personal, dan spiritual, yang kemudian Pak Luthfi pun menambahkan bahwa satu aspek yang penting lainnya adalah environmental, di mana hal ini merupakan reaksi timbal balik antara kita sebagai manusia dengan lingkungan kita.
Lantas bagaimanakah reaksi manusia terhadap perubahan iklim? Dalam hal ini, memori kolektif seperti merasa bahwa perubahan iklim itu bukanlah ancaman serta permasalahan besar yang perlu diperhatikan, menjadi hal yang berbahaya saat ini. Oleh karena itu, cara mengatasi hal tersebut adalah dengan self-care, baik di aspek sosial, personal, spiritual dan environmental.
Seperti yang pak Luthfi ucapkan dalam pemaparan materinya, “Di Indonesia ini seringkali manusia menyelesaikan masalah perubahan iklim ini secara emosi, tetapi tidak berfokus pada masalah itu sendiri”. Hal tersebut dapat dijadikan catatan bagi kita untuk memulai menyelesaikan masalah sendiri dengan meninjau masalah tersebut dan bukan dengan emosi. Demikian reportase acara peringatan hari bumi. Semoga bermanfaat dan sampai bertemu di acara Fakultas Psikologi selanjutnya.