Meningkatkan Soft Skills Mahasiswa : Lebih Jauh dengan Psychological First Aid
Beberapa tahun belakangan ini, bencana alam seperti banjir, longsor, gempa bumi, tsunami, hingga gunung meletus datang silih berganti menghampiri Indonesia. Bencana alam tersebut dapat menimbulkan pengalaman yang tidak menyenangkan dan traumatis bagi korban selamat atau penyintas. Oleh karena itu, selain bantuan secara fisik, dibutuhkan pula bantuan secara psikologis yang dapat dilakukan dengan memberi tindakan psychological first aid. Urgensi ini mendorong Departemen Sosial dan Lingkungan DEMA Fakultas Psikologi UIN Jakarta agar mengadakan workshop dengan tema Psychological First Aid: Increase The Sense of Humanity. Kegiatan ini berlangsung selama dua hari, pada 2-3 April 2021.
Pada hari pertama, acara diisi oleh Kak Afry Ramadhany, S.Psi., yang merupakan social activist Dompet Dhuafa dan dimoderatori oleh M. Fawzan Fardan. Kak Afry membawakan materi mengenai psychological first aid in natural disaster. Ia mengatakan bahwa “Psychological first aid adalah satu bagian dari dukungan psikososial yang ada di setiap peristiwa kritis manusia atau critical incident yang merupakan peristiwa yang memberi akibat stress yang melampaui kemampuan manusia untuk menanganinya, baik individu maupun kelompok.”
[caption id="attachment_3587" align="aligncenter" width="569"] Gambar 1. Kak Afry Ramadhany S.Psi., narasumber dan M. Fawzan Fardan, moderator acara Psychological First Aid pada hari pertama[/caption]Dalam pemaparannya, Kak Afry menjelaskan mengenai tiga kategori warga dalam situasi bencana, yaitu Eustress (Warga Berdaya), Distress (Warga yang memiliki emosional normal saat bencana seperti sedih, stress, marah, dsb), dan Disfungsi (Warga Krisis yang membutuhkan bentuan psikologi). Selain itu, Kak Afry juga menjelaskan tahapan psychological first aid untuk anak-anak hingga orang dewasa.
Antusias peserta dapat dilihat dari banyaknya peserta yang mengajukan pertanyaan. “Bagaimana cara relawan untuk menyelesaikan emosi pribadi agar tidak memperburuk suasana hati penyintas?”, salah seorang peserta bertanya. Kak Afry menjawab bahwa kita dapat memberi ruang yang berbeda, memvalidasi diri sendiri dan berusaha untuk menerima kondisi tersebut. Kemudian, para relawan dapat menetralisir perasaan tersebut pada malam hari setelah bertugas, dibantu oleh koordinator untuk meluapkan dan menyampaikan emosi yang tertanam ketika menghadapi para korban.
[caption id="attachment_3586" align="aligncenter" width="575"] Gambar 2. Suasana workshop PFA pada Jumat, 2 April 2021[/caption]Kemudian, hari selanjutnya diawali dengan materi “Art Can Help You! Dealing with Disaster Creatively” yang dibawakan oleh seorang art psychotherapist sekaligus pengajar di FSRD ITB, Ardhana Riswarie, M.A, AthR. Beliau memulai materi dengan memberikan kerangka pemahaman tentang kondisi psikologis bencana dan memfokuskan bahasan terkait seni rupa sebagai psychological first aid di fase heroic yang terjadi setelah tanggap darurat ketika masyarakat membutuhkan pertolongan darurat, seperti makanan, shelter, dan air. Kedua, pada fase honeymoon, ditandai dengan dimulainya kehidupan pengungsian. Korban mengalami pergeseran paradigma menjadi "penyintas" dan ada kebersatuan di antara masyarakat.
[caption id="attachment_3588" align="aligncenter" width="577"] Gambar 3. Salah satu pembahasan di hari kedua, fase psikologis bencana[/caption]Pemateri juga menjabarkan terkait cara kita sebagai relawan dapat membantu dengan bertanggung jawab, do’s and don’ts, juga prinsip utama psychological first aid. Lebih jauh lagi, seni untuk PFA dijelaskan melalui pendekatan trauma-informed neurosciencetist, yaitu relate (menghubungkan individu dengan lingkaran), reason (memaknai berbagai karya), dan regulate (meregulasi emosi dengan seni dan bermain). Fungsi seni terutama seni rupa dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai alat PFA di fase heroic dan honeymoon. Seni merupakan ekspresi budaya dari seseorang dan komunitas, sehingga kita bisa memanfaatkannya untuk mengubah budaya serta pandangan terhadap kejadian bencana sehingga dapat menjadi alat yang efektif untuk self-care dan team-care.
Keseruan beranjak pada materi “Relawan dan Bencana: Mahasiswa Psikologi Bisa Apa?” oleh Claudia Zulfiana Putri, S.Psi. Sosok yang akrab disapa Kak Clau memaparkan segala aspek penting yang perlu dipersiapkan sebagai seorang relawan psikologi agar dapat membantu secara efektif. Selain itu, ia menekankan pentingnya memahami situasi dan budaya sekitar lokasi pasca bencana, bersikap membuka diri, dan menjadi active listeni demi meningkatkan dan mengelola empati terhadap penyintas bencana.
Tak kalah seru, Kak Rian Fahardhi sebagai relawan kemanusiaan Insan Cendikia Indonesia memutarkan sebuah video dokumenter kegiatan para mahasiswa ketika menjadi relawan sebuah bencana yang mengingatkan kita untuk kembali membuka mata, bergerak, dan menyalurkan kepedulian terhadap sosial dan lingkungan sekitar. "Sangat disayangkan ketika kita masih dapat bermain tanpa manfaat, sedangkan di luar sana masih banyak yang membutuhkan bantuan, sangat merugi", jelas Kak Rian.
[caption id="attachment_3589" align="aligncenter" width="538"] Gambar 4. Video dokumenter Aliansi Mahasiswa untuk korban bencana[/caption]Workshop ini memberikan kita gambaran bahwa PFA dapat dilakukan untuk memberi keseimbangan psikologis untuk para korban bencana alam. Oleh karena itu, mari ulurkan tangan dan beri bantuan dalam bentuk apapun karena hal tersebut adalah suatu kebahagiaan tersendiri yang tak ternilai harganya. Semoga bermanfaat dan sampai jumpa pada kegiatan Fakultas Psikologi UIN Jakarta berikutnya!