Seminar Nasional "Kekerasan Seksual di Dalam Kampus"
Psikologi UIN Syarif Hidayatullah menggelar kembali SEMINAR NASIONAL di tahun ini, dengan mengangkat tema “Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus”. Pengadaan Seminar Nasional ini ditujukan kepada para mahasiswa agar lebih memahami apa itu kekerasan seksual, apa bentuk-bentuk kekerasan seksual, bagaimana dampak kekerasan seksual terhadap korban, serta cara pemulihan bagi korban dan beberapa tips mengantisipasi serta melindungi diri dari tindakan pelecehan seksual.
Acara ini dimulai pada pukul 08.00 hingga pukul 12.00 wib yang diawali sambutan sekaligus pembuka acara seminar nasional oleh dari Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Ibu Zahrotun Nihayah. Beliau mengatakan tema ini diangkat karena akhir-akhir ini marak terjadi tujuan mengadakan ini bagaimana kita bisa mencegah dan mengantisipasi perilaku – perilaku kekerasan seksual di lingkungan kampus terutama UIN Syarif Hidayatullah agar tidak terjadi, beliau lebih lanjut menjelaskan Diktis sudah membuat surat edaran namun belum tersosialisasi secara massive ke PTKIN, sehingga perlu disosialisasikan secara massive.
Pada kesempatan kali ini mendatangkan dua narasumber yang berkonsetrasi pada bidangnya. Pertama Prof. Dra. Nina Nurmila, MA, Ph.D dan pemateri kedua Dr. Sri Setiawati, M.A. Materi pertama disampaikan oleh Prof. Dra. Nina Nurmila, MA, Ph.D selaku Ahli studi Islam dan Gender, Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dan Dekan Fakultas Pendidikan UIII yang memaparkan pentingnya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi yang berpihak pada korban. Prof Nina menjelaskan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi dimana saja, termasuk Lembaga Pendidikan (kampus). Menurut beliau, selama ini perguruan tinggi cenderung menutup diri dan berpihak pada pelaku dengan “meredam / menyembunyikan” terjadinya kasus demi menjaga “nama baik kampus”. Seharusnya kampus harus memiliki kebijakan di kampus tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Terdapat terobosan Kemenag dan Kemendikbud dalam SK dirjen yang telah disosialisasikan di berbagai kampus PTKI, hal ini merupakan kontribusi perguruan tinggi dalam penghapusan kekerasan seksual. Lanjutnya, Permendikbud diharapkan dapat disosialisasikan dan diimplementasikan di kampus-kampus di bawah Kemendikbud-Ristek. Serta UU TPKS bisa diimplementasikan secara nasional dalam upaya memenuhi hak konstitusional semua warga negara Indonesia. Sebagai penutup penjelasan materinya, Prof Nina mengajak kita semua untuk Bersama bergerak untuk Indonesia yang bebas dari kekerasan seksual di kampus. Bahwa tindakan kekerasan seksual di kampus bukan untuk disembunyikan, namun perlu ditangani dan juga dicegah.
Materi yang kedua disampaikan oleh Dr. Sri Setiawati, M.A yang menjabat sebagai Dosen Antropologi FISIP Universitas Andalas Padang dan Ketua Asosiasi Antropologi Indonesia Pengda Sumbar. Beliau menjelaskan bahwa kekerasan seksual adalah tindakan seksual apapun yang dilakukan oleh satu (atau lebih) orang atas orang lain tanpa persetujuan. Selain fakta – fakta mengenai kekerasan seksual di perguruan tinggi, beliau juga memaparkan beberapa solusi dalam praktik penanganan kekerasan seksual di kampus, antara lain dengan membuat aturan dalam SOP kampus (SK Rektor) seperti memberikan sanksi & penghargaan, lalu memberikan kajian yang komprehensif terhadap kasus di kampus secara internal. Kampus juga bisa membentuk tim satgas penanganan pelibatan berbagai macam civitas akademik (termasuk dosen, tendik, mahasiswa, pusat studi, dan lain-lain), selain itu bisa juga dengan mengadakan sosialisasi anti kekerasan seksual di kampus secara holistic (agama, budaya, local), serta memberikan sanksi agar memberikan efek jera kepada pelaku kekerasan seksual.
Antusias para peserta begitu baik, dibuktikan dengan jumlah peserta yang hadir terdiri dari mahasiswa, dosen dan beberapa undangan untuk umum dan diskusi yang aktif. Seminar ditutup dengan closing statement dari Dr. Sri Setiawati yang berharap ini menjadikan sebagai gerakan substansial bagi citivas akademika, “Empati tidak hanya cukup empati namun lakukan sesuatu walaupun kecil, harus ada sesuatu yang dilakukan, jangan menutup mata dan hati tapi lakukan sesuatu”.